Senin, 04 Januari 2010

SENI TEATRE


Sejarah panjang seni teater dipercayai keberadaannya sejak manusia
mulai melakukan interaksi satu sama lain. Interaksi itu juga
berlangsung bersamaan dengan tafsiran-tafsiran terhadap alam
semesta. Dengan demikian, pemaknaan-pemaknaan teater tidak jauh
berada dalam hubungan interaksi dan tafsiran-tafsiran antara manusia
dan alam semesta. Selain itu, sejarah seni teater pun diyakini berasal
dari usaha-usaha perburuan manusia primitif dalam mempertahankan
kehidupan mereka. Pada perburuan ini, mereka menirukan perilaku
binatang buruannya. Setelah selesai melakukan perburuan, mereka
mengadakan ritual atau upacara-upacara sebagai bentuk “rasa syukur”
mereka, dan “penghormatan” terhadap Sang Pencipta semesta. Ada
juga yang menyebutkan sejarah teater dimulai dari Mesir pada 4000
SM dengan upacara pemujaan dewa Dionisus. Tata cara upacara ini
kemudian dibakukan serta difestivalkan pada suatu tempat untuk
dipertunjukkan serta dihadiri oleh manusia yang lain.
The Theatre berasal dari kata Yunani Kuno, Theatron yang
berarti seeing place atau tempat menyaksikan atau tempat dimana
aktor mementaskan lakon dan orang-orang menontonnya. Sedangkan
istilah teater atau dalam bahasa Inggrisnya theatre mengacu kepada
aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan, kelompok yang
melakukan kegiatan itu dan seni pertunjukan itu sendiri. Namun
demikian, teater selalu dikaitkan dengan kata drama yang berasal dari
kata Yunani Kuno, Draomai yang berarti bertindak atau berbuat dan
Drame yang berasal dari kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan
Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang
kehidupan kelas menengah atau dalam istilah yang lebih ketat berarti
lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting
tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata drama juga dianggap
telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani
Kuno (800-277 SM). Hubungan kata teater dan drama bersandingan
sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang
mempergunakan drama ’lebih identik sebagai teks atau naskah atau
lakon atau karya sastra.
Terlepas dari sejarah dan asal kata yang melatarbelakanginya,
seni teater merupakan suatu karya seni yang rumit dan kompleks,
sehingga sering disebut dengan collective art atau synthetic art artinya
teater merupakan sintesa dari berbagai disiplin seni yang melibatkan
berbagai macam keahlian dan keterampilan. Seni teater
menggabungkan unsur-unsur audio, visual, dan kinestetik (gerak) yang
meliputi bunyi, suara, musik, gerak serta seni rupa. Seni teater
merupakan suatu kesatuan seni yang diciptakan oleh penulis lakon,
sutradara, pemain (pemeran), penata artistik, pekerja teknik, dan
diproduksi oleh sekelompok orang produksi. Sebagai seni kolektif, seni
teater dilakukan bersama-sama yang mengharuskan semuanya
sejalan dan seirama serta perlu harmonisasi dari keseluruhan tim.
Pertunjukan ini merupakan proses seseorang atau sekelompok
manusia dalam rangka mencapai tujuan artistik secara bersama.
Dalam proses produksi artistik ini, ada sekelompok orang yang
mengkoordinasikan kegiatan (tim produksi). Kelompok ini yang
menggerakkan dan menyediakan fasilitas, teknik penggarapan, latihanlatihan,
dan alat-alat guna pencapaian ekspresi bersama. Hasil dari
proses ini dapat dinikmati oleh penyelenggara dan penonton. Bagi
xv
penyelenggara, hasil dari proses tersebut merupakan suatu kepuasan
tersendiri, sebagai ekspresi estetis, pengembangan profesi dan
penyaluran kreativitas, sedangkan bagi penonton, diharapkan dapat
diperoleh pengalaman batin atau perasaan atau juga bisa sebagai
media pembelajaran.
Melihat permasalahan di dalam teater yang begitu kompleks,
maka penulis mencoba membuat sebuah paparan pengetahuan teater
dari berbagai unsur. Paparan ini dimulai dari Bab I Pengetahuan
Teater yang berisi tentang definisi teater baik secara keseluruhan
maupun secara detail, sejarah singkat perkembangan teater baik
sejarah singkat teater Eropa maupun sejarah singkat teater Indonesia,
dan unsur-unsur pembentuk teater. Bab ini sangat penting karena
untuk mendasari pemikiran dan pengetahuan tentang seni teater.
Bab II Lakon yang berisi tentang tipe-tipe lakon, tema, plot,
struktur dramatik lakon, setting, dan penokohan. Dalam bab ini
pembahasan lebih banyak pada analisis elemen lakon sebagai
persiapan produksi seni teater. Sesederhana apa pun sebuah naskah
lakon, diperlukan sebagai pedoman pengembangan laku di atas
pentas. Pemilihan lakon yang akan disajikan dalam pementasan
merupakan tugas yang sangat penting. Tidak sembarang lakon akan
sesuai dan baik jika dipentaskan. Sulitnya tugas ini disebabkan oleh
karena setiap kelompok teater memiliki ciri khas masing-masing.
Sebuah lakon yang dipentaskan dengan baik oleh satu kelompok
teater, belum tentu akan menjadi baik pula jika dipentaskan oleh
kelompok lainnya.
Bab III Penyutradaraan yang berisi tentang penentuan lakon
yang akan dipentaskan, analisis lakon secara menyeluruh hingga
sampai tahap konsep pementasan, menentukan bentuk pementasan,
memilih pemain, membuat rancangan blocking, serta latihan-latihan
hingga gladi bersih. Kerja penyutradaan dalam sebuah pementasan
merupakan kerja perancangan. Seorang sutradara harus bisa memberi
motivasi dan semangat kebersamaan dalam kelompok untuk
menyatukan visi dan misi pementasan antar mereka yang terlibat.
Kerja penyutradaraan merupakan kegiatan perancangan panggung
dapat berupa penciptaan estetika panggung maupun ekspresi
eksperimental.
Bab IV Pemeranan yang berisi tentang persiapan seorang
pemeran dalam sebuah pementasan seni teater. Persiapan tersebut
meliputi persiapan olah tubuh, olah suara, penghayatan karakter serta
teknik-teknik pemeranan. Persiapan seorang pemeran dianggap
penting karena pemeran adalah seorang seniman yang
mengekspresikan dirinya sesuai dengan tuntutan baru dan harus
memiliki kemampuan untuk menjadi ’orang baru’. Pemeran
didefinisikan pula sebagai tulang punggung pementasan, karena
dengan pemeran yang baik, tepat, dan berpengalaman akan
menghasilkan pementasan yang bermutu. Pementasan bermutu
adalah pementasan yang secara ideal mampu menterjemahkan isi
naskah. Walaupun di lain pihak masih ada sutradara yang akan melatih
dan mengarahkan pemeran sebelum pentas, tetapi setelah di atas
panggung tanggungjawab itu sepenuhnya milik pemeran.
Bab V Tata Artistik yang berisi tentang teori dan praktek tata
artistik yang meliputi; tata rias, tata busana, tata cahaya, tata
panggung, dan tata suara. Sebagai komponen pendukung pokok,
xvi
keberadaan tata artistik dalam pementasan teater sangatlah vital.
Tanpa pengetahuan dasar artistik seorang sutradara atau pemain
teater tidak akan mampu menampilkan kemampuannya dengan baik.
Persesuaian dengan tata artistik yang menghasilkan wujud nyata
keindahan tampilan di atas pentas adalah pilihan wajib bagi para
pelaku seni teater.
Bahasan yang penulis pilih dalam setiap bab merupakan
pengetahuan dan praktek mendasar proses penciptaan seni teater.
Artinya, sebuah pertunjukan teater yang berlangsung di atas panggung
membutuhkan proses garap yang lama mulai dari (penentuan) lakon,
penyutradaraan, pemeranan, dan proses penataan artistik. Dalam
setiap tahapan proses ini melibatkan banyak orang (pendukung) dari
berbagai bidang sehingga dengan memahami tugas dan tanggung
jawab masing-masing maka kerja penciptaan teater akan padu.
Kualitas kerja setiap bidang akan menjadi harmonis jika masingmasing
dapat bekerja secara bersama dan bekerja bersama akan
berhasil dengan baik jika semua elemen memahami tugas dan
tanggung jawabnya. Itulah inti dari proes penciptaan seni teater, “kerja
sama”.

Minggu, 03 Januari 2010

Seni Tradisi (Nusantara) dan Pembelajarannya di Sekolah

Seni Tradisi (Nusantara) dan Pembelajarannya di Sekolah
dari :http://re-searchengines.com/0408sandie.html

Sejak beberapa tahun ini, banyak dari kalangan penentu kurikulum memfokuskan diri pada seni tradisi. Selain itu, tak sedikit pula kalangan yang mempertanyakan kembali tentang kehidupan seni tradisi saat ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah, masih potensialkah jika kita mengangkat seni tradisi dimana ia hidup dalam kepungan budaya populer dan modern saat ini? serta mampukah seni tradisi memikat siswa dalam pembelajaran seni di sekolah dimana para siswa telah terpengaruhi dirinya dengan budaya populer dan modern saat ini? Belum banyak yang kemudian mempersoalkan bagaimana seni tradisi berperan dalam konteks kehidupan siswa?

Apakah seni tradisi akan memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan siswa? Bahkan menurut Prof. Waridi (seorang guru besar dari ISI Solo), masih jarang yang mempertanyakan dan menggali secara sungguh-sungguh kemampuan dan potensi nilai-nilai ketradisionalan seni nusantara dalam ikut menganyam pencitraan identitas bangsa. Juga belum banyak yang mencoba membicarakan potensi seni tradisi dalam konteks kekinian. Belum banyak pula yang menggagas untuk menjadikan seni tradisi sebagai sarana penanaman nilai-nilai kenusantaraan terhadap siswa-siswa sekolah sejak dini. Justru yang terjadi adalah sebuah perdebatan yang tiada kunjung selesai terhadap pilihan-pilihan materi pendidikan seni yang harus dikomposisikan dalam disain kurikulum sekolah formal serta peminggiran-peminggiran eksistensinya.

Saya pikir perdebatan semacam itu tidak akan kunjung selesai bila masing-masing kelompok melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Di satu pihak ada yang memandang bahwa tradisi itu kuno, ketinggalan jaman, dan lain sebagainya. Sementara di pihak lain ada yang memandang bahwa saat ini memandang seni tradisi dalam konteks budaya Indonesia sangat diperlukan. Kenapa? Karena apabila dilihat dari keberadaannya (diakui atau tidak), seni tradisi ternyata telah berhasil membawa bangsa Indonesia ke dalam kancah pergaulan internasional. Seni tradisi memiliki kemampuan dan potensi untuk mengangkat citra Indonesia di mata dunia. Karena ternyata dengan seni lah Indonesia dapat dikenal dunia, daripada ekonomi dan teknologinya. Sudah banyak seniman-seniman kita yang melanglang buana keliling dunia dengan unjuk kabisa dalam bidang seni tradisi.

Seni Tradisi

Dari sudut pandang kebudayaan, Prof. Waridi mengatakan bahwa seni adalah salah satu bentuk ekspresi budaya. Kebudayaan ada karena sengaja diadakan oleh manusia untuk membentuk sebuah peradaban bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya serta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya hanya manusialah makhluk yang berkebudayaan dan yang memiliki peradaban dalam hidupnya. Salah satu wujud produk kebudayaan manusia, adalah seni. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika kemudian banyak yang menyatakan, bahwa seni tradisi dapat mengungkapkan sikap dan proses pengetahuan sosial. Bila demikian halnya, maka sebenarnya wujud seni tradisi tidak hanya berurusan dengan estetika, melainkan di dalamnya mengandung persoalan-persoalan non seni yang multidimensi.

Faktanya di lapangan menunjukkan, bahwa seni tradisi memiliki wajah yang jamak (multifaced). Artinya, bahwa seni tradisi dapat diamati dari berbagai sudut pandang dan berbicara untuk mengungkapkan proses pengetahuan dan perilaku sosial yang beragam pula. Dari konteks inilah kemudian ditemukan sebuah pemahaman, bahwa seni tradisi lahir sesuai dengan tingkat peradaban manusia pendukungnya. Oleh karenanya dalam seni tradisi di dalamnya mengandung pengetahuan peradaban komunitas-komunitas manusia Indonesia yang beragam. Dalam kaitan ini, kebudayaan Indonesia sebagian terekspresikan lewat beragam seni tradisi yang hidup di Indonesia itu. Maka, bukan sesuatu yang tidak masuk akal jika seni nusantara itu menjelma menjadi sebuah tradisi yang secara terus menerus berupaya diwariskan dan dipelajari dari generasi ke generasi berikutnya.

Tradisi berasal dari bahasa Inggris yaitu kata tradition, kita memahaminya sebagai sesuatu yang bersifat turun-temurun, kebiasaan, adat istiadat, dan sebagainya. Apabila dikaitkan dengan seni, merujuk pada pernyataan Prof. Waridi, tradisi mengandung pengertian seni-seni yang keberadaan dan perkembangannya merupakan warisan dari generasi ke generasi sebelumnya yang di dalamnya sarat dengan konvensi-konvensi, serta berkaitan dengan kebutuhan sistem-sosial kehidupan membudaya masyarakat pendukungnya. Walaupun seni tradisi merupakan warisan dari generasi ke generasi, akan tetapi bukan berarti hidup secara statis, ia terus berjalan dan berdialog dengan proses peradaban yang melingkupinya. Oleh karenanya saya menggarisbawahi pernyataan beliau yang mengatakan bahwa adalah wajar bilamana seni tradisi secara wujud, fungsi, dan maknanya selalu berubah-ubah seirama dengan dinamika sosial budaya masyarakat. Perubahan itu bisa saja terletak pada pengolahan bentuk, pengetahuan, serta muatan perilaku sosial yang terdapat di dalamnya.

Berbicara tentang seni tradisi, menurut saya penting untuk dipelajari oleh siswa di sekolah, karena di dalamnya terkandung makna-makna yang pantas untuk diteladani dalam konteks kehidupan manusia secara berkesinambungan. Bahkan Ki Hajar Dewantara memandang bahwa mempelajari seni tradisi dapat menghaluskan budi kita. Beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa alat untuk menghaluskan budi ini ialah halusnya pendengaran dan penglihatan (misalnya belajar gamelan). Penglihatan berpengaruh pada pikiran kita, sedangkan pendengaran berpengaruh pada perasaan atau perangai. Jadi, dengan halusnya kedua panca indera tersebut maka akan berakibat halusnya manusia. Kenapa manusia menjadi halus? Hal ini disebabkan karena panca indera kita merupakan alat-alat manusia yang menghubungkan jiwanya dengan dunia luar.

Dari pernyataan Prof. Waridi dan Ki Hajar Dewantara tersebut, ternyata dalam seni tradisi terdapat makna esensial dan ruh yang pantas untuk diteruskan. Tetapi masalahnya sekarang adalah bagaimana cara untuk menyikapi seni tradisi agar tetap dapat berperan dalam pembelajaran di sekolah. Menurut saya hal tersebut merupakan sesuatu yang amat sangat kompleks, kenapa? karena pada saat ini, kehidupan seni tradisi disekolah dihadapkan pada gemerlapnya budaya populer yang lebih menghibur dan sesuai dengan selera siswa. Sehingga membutuhkan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan konteks keadaan siswa dan konteks lingkungan yang mempengaruhinya.

Tantangan Seni Tradisi di Sekolah

Keberadaan seni tradisi di era globalisasi dihadapkan kepada sejumlah tantangan yang cukup kompleks. Saya setuju apa yang dikatakan oleh Prof. Waridi, tentang tantangan-tantangan yang dihadapi seni tradisi saat ini, terutama di sekolah. Hal itu dapat diidentifikasikan sebagai berikut.

1. Kontinuitas pemahaman dan apresiasi (siswa) terhadap seni tradisi dari waktu ke waktu cenderung semakin menipis. Artinya telah terdapat kecenderungan diskontinuitas di tingkat apresiasi dan pemahaman. Persoalan ini sangat mungkin terjadi karena;

2. Kurang tersedianya ruang dan sarana yang cukup bagi (siswa) anak-anak muda untuk mendapat kesempatan mengapresiasi seni tradisi secara serius.

3. Belum terjadi proses internalisasi unsur-unsur seni tradisi secara wajar, sinambung, dan sistemik dalam usia anak dini dan remaja. Dalam artian pembelajaran seni saat ini, masih mengabaikan konteks keadaan siswa dan lingkungannya.

4. Sebagian seni tradisi cenderung tampil kurang menggairahkan, karena dalam keadaan lesu darah. Hal ini berkaitan dengan persoalan semakin memudarnya patron-patron yang memayungi seni tradisi untuk terus mampu melakukan aktivitas pentas maupun kegiatan-kegiatan yang berada di tengah-tengah masyarakat. Seperti kurangnya dukungan dari pemda-pemda dalam upaya menghidupkan kembali seni tradisi.

5. Berhadapan dengan kebudayaan seni pop yang dipandang dapat mencitrakan gejolak emosi anak muda (siswa remaja).

6. Munculnya kekuatan kapitalis yang bergerak dalam industri budaya, cenderung memberi ruang sangat luas terhadap jenis-jenis seni populer. Secara realitas kekuatan ini sulit untuk dihindari dan masyarakat seni tradisi tidak memiliki kekuatan untuk mengimbanginya. Akibatnya satu kendala yang lain segera melengkapi tantangan-tantangan lainnya yang muncul dalam dunia seni tradisi, yaitu;

7. Seni tradisi lebih dipandang dan dicitrakan sebagai seni masa lalu yang kurang mencitrakan kemodernan. Bila demikian terdapat sesuatu yang agak menggelisahkan, yakni kemungkinan munculnya suatu persepsi yang memandang, bahwa seni populer dalam perspektif umum dijadikan sebagai ukuran atau standar mutu keberadaan sebuah seni termasuk festival-festival atau kontes-kontes pada suatu bangsa. Tanda-tanda ini mulai muncul di Indonesia, yakni penilaian yang didasarkan atas banyaknya dukungan yang masuk terhadap seseorang atau sekelompok orang yang berdampak langsung terhadap dimenangkannya seseorang dalam suatu kontes kesenian. Tindakan semacam ini secara jelas telah terdapat upaya-upaya dari sekelompok orang untuk menggeser persoalan subjektivitas kesenian ke arah objektivitas publik.

Salah satu ciri esensial subjektivitas dalam penilaian terhadap suatu kualitas kesenian biasanya dipercayakan kepada dewan pakar atau seorang ahli dibidangnya, sementara yang berkembang saat ini, kewenangannya dialihkan kepada publik. Penilaian dari dewan pakar untuk menentukan kualitas suatu sajian kesenian, biasanya disertai analisis yang mendalam terhadap berbagai unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Pertimbangan yang diambil lebih mengutamakan persoalan-persoalan estetik dan konteksnya, sehingga hasil penilaiannya dapat dipertanggungjawabkan. Sementara di sisi lain penilaian yang dilakukan oleh publik sering tercampur dengan persoalan "suka atau tidak suka".

Akibatnya bisa saja terjadi, bahwa yang menang bukan mencerminkan kualitas yang sesungguhnya, dalam kata lain kemenangan yang bersifat semu. Bilamana ini menggelinding secara terus menerus, bisa jadi dapat berpengaruh kuat terhadap terbentuknya opini dan persepsi publik, bahwa seni yang dianggap baik adalah seni yang disenangi oleh banyak orang, bukan seni yang secara fungsional mampu hidup dalam konteks kehidupan membudaya masyarakatnya. Pemahaman seperti itu secara jelas hanya memandang, bahwa seni semata-mata didudukkan sebagai objek hiburan. Dari awal persepsi yang demikian itulah seni tradisi nusantara mulai mengalami kesenjangan di kalangan anak muda (siswa). Seni tradisi sudah tidak lagi dipandang sebagai bagian dari kebudayaan mereka.

Jadi, dari pernyataan di atas, kenyataan tantangan-tantangan tersebut melahirkan dua persepsi, yakni pertama pandangan yang menempatkan massa sebagai basis orientasi penilaian. Dalam persepsi ini tergambar, bahwa baik dan buruk suatu karya seni didasarkan atas pertimbangan selera massa dari pada kualitas yang dilegitimasi oleh ahlinya. Secara jelas cara semacam ini dilatari oleh semangat budaya populer dan kapitalis, dimana partisipasi sebanyak-banyaknya dari masyarakat merupakan salah satu tujuan untuk meneguk keuntungan finansial. Situasi yang demikian ini seni tradisi telah dilepaskan dari roh spiritualitasnya dan menjelma menjadi bagian seni yang bersifat profan dan hiburan. Nilai-nilai toleransi, perekat sosial, kebersamaan, kemerdekaan, kreatifitas, dan kesetiakawanan sosial menjadi hilang. Persepsi kedua, tetap menempatkan seni tradisi sebagai basis kekaryaan dan sarana internalisasi nilai-nilai tersebut di atas. Persepsi yang kedua ini umumnya memilih jalur mengolah potensi yang terdapat dalam seni tradisi dengan tetap mempertimbangkan aspek kulturalnya, yakni mengolah seni tradisi dengan pendekatan reinterpretasi. Tentunya dua persepsi ini berdampak secara signifikan terhadap apresiasi masyarakat terhadap pendidikan seni tradisi.

Seni Tradisi dalam Pembelajaran di Sekolah

Seni tradisi mempunyai potensi yang cukup beragam dan memiliki kemampuan untuk merangsang imajinasi kreatif bagi para siswa. Menurut Prof. Waridi, potensi itu setidaknya dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1.seni tradisi nusantara cukup beragam dan masing-masing memiliki keunikan sesuai dengan kelokalannya.

2.memiliki ragam instrumen, tangga nada, serta teknik permainannya secara spesifik.

3.memiliki ragam lagu dan vokabuler permainan.

4.memiliki ragam struktur dan bentuk.

Dari keberagaman tersebut, implementasinya dalam pembelajaran di sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Pendekatan re-interpretasi menjadi tawaran yang memungkinkan dapat menjaga keberlanjutan seni tradisi agar tetap mampu berbicara dalam konteks pembelajaran di sekolah. Dengan kata lain, seni tradisi hanya dijadikan sebagai media pembelajaran untuk merangsang kreativitas siswa. Nilai-nilai atau ruh yang terkandung dalam seni tradisi dapat direinterpretasikan melalui media lain sesuai dengan keadaan siswa dan sarana prasarana sekolah.

Pendekatan lainnya yakni pendekatan 'modernisme' dapat dimanfaatkan untuk melahirkan karya seni dengan cita rasa kekinian yang berbasis pada seni tradisi. Artinya, dari proses reinterpretasi tersebut siswa kemudian diajak ke konteks kehidupan saat ini (modern), sehingga diharapkan dapat melahirkan hasil karya seni melalui media lain, misalnya alat musik yang terbuat dari bahan-bahan daur ulang dan lain sebagainya tanpa meninggalkan esensi dan ruh yang terkandung dalam seni tradisi.

Jadi melalui dua pendekatan di atas, atau mungkin berbagai pendekatan lainnya, pembelajaran seni tradisi diharapkan mampu mendorong kreativitas anak, sehingga pada diri siswa tumbuh kesadaran estetis, toleran, sikap kritis terhadap karya seni, berbudi luhur, dan mempunyai jati diri yakni jati diri sebagai warga Indonesia, sehingga akhirnya dengan mempelajari seni tradisi, apresiasi siswa/masyarakat terhadap pembelajaran seni akan semakin meningkat pula. Dan yang tak kalah pentingnya yakni peran guru dan kebijakan sekolah. Kebijakan sekolah dan guru yang menaruh perhatian besar terhadap pembelajaran seni sesungguhnya mampu memberi dorongan terhadap semakin menguatnya apresiasi masyarakat terhadap pembelajaran seni khususnya seni tradisi.

MEDIA SASTARA NUSANTARA



KASTALIA: KECERMATAN DIKSI DODONG DJIWAPRADJA


Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, nama Dodong Djiwapradja tidaklah terlalu menonjol dibandingkan Ajip Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar atau Ramadhan KH. Meskipun demikian, Ajip Rosidi menempatkan Dodong sebagai salah seorang penyair Indonesia terkuat pada tahun 1960-an, di samping Rendra. Kiprahnya sendiri sebagai penyair dimulai sejak puisinya, “Cita-cita” dimuat majalah Gema Suasana (1948) yang waktu itu masih diasuh Chairil Anwar. Sejak itu, cerpen, esai, dan terutama puisinya banyak menghiasi majalah-majalah yang terbit tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an.

Sampai awal tahun 1970-an, Dodong masih terus berkarya. Sayangnya, dalam masa produktifnya itu, ia tak sempat mengumpulkan puisinya untuk diterbitkan sebagai antologi tersendiri. Meskipun A. Teeuw mengatakan bahwa “… seorang penyair Sunda, Dodong Djiwapradja, gampang terlupakan karena karya-karyanya yang lahir selama kurun waktu yang panjang itu tak pernah terbit sebagai satu kumpulan tersendiri,” di kalangan penyair seangkatannya, nama Dodong tetap menampati kedudukan yang penting. Oleh karena itu, terbitnya Kastalia tentu saja merupakan sumbangan penting untuk melihat perjalanan kepenyairannya.

Antalogi ini berisi puisi-puisi Dodong yang dihasilkannya dalam kurun waktu an-tara tahun 1948 sampai 1973. Setelah melalui proses pemilihan dan pemilahan, maka ter-himpunlah 67 puisi yang dibagi ke dalam lima bagian, yaitu “Jalan Setapak” (1948–1949), “Getah Malam” (1951–1959), ”Kastalia” (1960), “Jari Jemari” (1961–1963), dan “Penyair, yang Lahir di Tanah Air” (1970–1973). Rendra dalam Kata Pengantar buku itu mengatakan, “… seluruh sajaknya memperlihatkan sikap hidupnya yang hati-hati, tekun melindungi kemurnian hati nuraninya, dan sangat menghargai saat-saat bahagia yang kecil dan sederhana, penuh rasa syukur kepada keindahan-keindahan yang mengharukan yang diberikan oleh alam, yang semuanya itu ia lukiskan dengan cermat dan bagus.”
***

Yang menonjol dari antologi ini adalah adanya kesan yang kuat atas konsistensi penyair pada kehati-hatian dalam pilihan kata (diksi) untuk membangun keindahan puitik. Konsistensi itu tampak dari pemakaian dan pemanfaatan plastisitas setiap kata. Dengan cara ini, setiap kata menampilkan kekayaan nuansa maknanya yang mendalam.

Yang muncul kemudian dari kecermatan dan kehati-hatian penyair melakukan pilihan kata adalah kemampuan bahasa Indonesia yang sarat dengan nuansa makna. Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang kaya dengan rasa dan berbagai kemungkinan penggalian maknanya sekaligus. Dengan demikian, Dodong Djiwapradja membangun puisinya bermula dari kedalaman setiap makna kata, kemudian dari berbagai kemungkinan makna lain dalam urutan sintaksinya, dan berikutnya berdasarkan kepaduan menghadirkan sebuah wacana puitik, baik dalam setiap baitnya, maupun dalam keseluruhan puisi yang bersangkutan.

Dengan cara demikian, wacana puitik itu hadir utuh bukan dalam bentuk pernya-taan-pernyataan, melainkan dalam sebuah dunia yang dibungkus oleh kekuatan rasa bahasa dan yang sekaligus menawarkan pembaca untuk ikut mengumbar imajinasi serta menggoda kecerdasan penalarannya. Puisi jadinya bukan sekadar ekspresi perasaan, tetapi juga kemampuan intelek penyairnya sendiri.

Kehati-hatian dan kecermatan pilihan kata yang dilakukan penyair, memperlihatkan keseriusan dan kesungguhan penyair di dalam dunia kepenyairannya. Ia menulis puisi bukan sekadar iseng-iseng atau pekerjaan yang dapat dilakukan sambil lalu, tetapi pekerjaan yang dilakukan lewat proses pemahaman, pendalaman, dan penghayatan atas segala peristiwa yang terjadi yang lalu mengkristal dalam wujud pemaknaan filosofis atau ideologis terhadap hakikat di balik peristiwa-peristiwa itu.

Secara keseluruhan, Kastalia menyerupai potret perjalanan kepenyairan Dodong yang bermula dari mekarnya cita-cita romantik (1948–1949) ketika gejolak perasaannya penuh dengan harapan-harapan ideal, sampai pada kematangan dan kearifannya sebagai manusia (1970–1973).

Bahwa karya-karyanya berasal dari puisi-puisi Dodong yang tercecer di berbagai majalah antara tahun-tahun itu (1948-1973), justru dalam hal itulah, puisi-puisi Dodong memperlihatkan relevansi dan aktualitasnya dalam konteks sekarang. Ibarat sebuah mo-numen, puisi-puisi Dodong seolah-olah tidak lekang ditelan waktu dan tetap berdiri de-ngan kekhasan dan kelebihannya sendiri di tengah kesemarakan peta puisi Indonesia.

Selain itu, kekayaan metafora dan kehalusan ironi sama sekali tidak memperlihat-kan bentuk-bentuk yang klise, tetapi justru malah tampil dengan penuh kesegaran yang sangat khas sebagai salah satu ciri kekuatan kepanyairan seorang Dodong Djiwapradja. Inilah yang menjadikan antologi Kastalia senantiasa sedap dibaca, nikmat dihayati, segar rasa bahasanya dan selalu menggoda untuk terus menelusuri maknanya. Kastalia telah menempatkan diri sebagai karya penting dari seorang penyair veteran.